Senin, 27 Oktober 2014

Air Awet Muda di Peristirahatan Raja

Air di Bale Petirtaan dianggap suci dan diyakini berkhasiat bagi kesehatan. Khasiat itu sudah diuji peneliti dari Jepang. Serombongan keluarga dari KabuBangli, Bali, memasuki Bale Petirtaan. Mereka hendak menggelar Puspa Bhakti. Bebungaan, dupa, dan pelengkap sesajian disiapkan sebagai syarat ritual. Puspa Bhakti atau Panca Sembilan merupakan upacara adat sebelum mengambil air suci di Bale Petirtaan. Lokasi air suci itu berada di Taman Narmada, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.

Ritual berlangsung sekitar 20 menit, dipimpin seorang pemangku atau kuncen.Doa pun dilafalkan untuk memohon keberkatan Tuhan atas air yang dianggap suci tersebut. Seusai ritual, peserta dipersilakan mengambil air dari sebuah mata air di hadapan mereka.

“Doa ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa, untuk memohon izin dan restu atas khasiat air suci,“ jelas Mangku Sudi, 56, pemangku di Bale Petirtaan, kepada Media Indonesia, menjelaskan makna Puspa Bhakti.Air awet muda Bale Petirtaan berbentuk pondok beratap genteng, berdinding bata dan berlantai porselen. Di dalamnya terdapat sumber air alami, yang sampai saat ini tidak pernah kering. Air tersebut berasal dari pertemuan tiga mata air yang berhulu di Gunung Rinjani, yakni Suranadi, Lingsar, dan Narmada.

Air di Bale Petirtaan dianggap suci dan diyakini berkhasiat sebagai obat. Pengunjung dan warga setempat menyebutnya air awet muda. Mereka mengambil air dengan gelas untuk diteguk atau dibasuh ke muka. Para pengunjung tidak jarang membawa pulang air untuk digunakan di rumah atau sebagai oleh-oleh keluarga. Air tersebut ditampung dalam sebuah jeriken kecil yang disediakan pihak pengelola Bale Petirtaan.

Air Bale Pertitaan mengucur dari sebuah saluran yang berada di bawah arca Dewi Anjani. Arca tersebut bersarung sehelai kain kuning. Begitu pula arca Dewi Gangga dan Dewi Saraswati, yang berada di sisi kiri dan kanan belakang arca Dewi Anjani.

Karena dianggap suci, air tersebut tidak boleh diambil sembarangan. Ada ritual khusus dalam agama Hindu, sejumlah pantangan juga diberlakukan buat pengunjung.Perempuan yang sedang datang bulan, misalnya, tidak diperkenankan mengambil air bahkan tidak boleh masuk Bale Petirtaan.Pengunjung juga dilarang membasuh kaki di sumber air suci. “Orang dari agama apa pun boleh memanfaatkan air ini. Ritualnya menyesuaikan dengan kepercayaan masingmasing,“ jelas Sudi, seusai memimpin Puspa Bhakti, akhir September lalu.Penelitian Jepang Bale Petirtaan terletak di sebelah utara Telaga Padmawangi, yang sama-sama berlokasi di Taman Narmada.

Nama Bale Petirtaan cukup melegenda berkat keberadaan air suci tersebut. Selalu saja ada pengunjung dari Lombok dan berbagai daerah bahkan mancanegara yang datang, apalagi di hari libur atau menjelang hari besar Hindu.

Khasiat air dari Bale Petirtaan telah diyakini secara turun-temurun sejak ratusan tahun silam. Cerita dari mulut ke mulut tentang kemujarabannya telah menyebar.Apalagi, tempat itu juga dipromosikan sebagai tujuan wisata di Lombok.

Karena ketenaran air Bale Petirtaan, seorang peneliti dari Jepang pernah melakukan penelitian. Ida Bagus Putu Ardhana alias Gustu, 41, pemandu wisata di Lombok di Lombok bertutur, peliti tersebut menyatakan bahwa air dari Bale Petirtaan memiliki kandungan mineral tinggi. Itu yang menyebabkan air tersebut berkhasiat untuk bagi kesehatan.

“Jadi, tidak salah juga disebut sebagai air awet muda karena menyehatkan. Kalau badan selalu sehat, berartikan tidak cepat tua,“ seloroh Gustu, yang biasa memandu wisatawan dari Jepang.Makna air Air, lanjut dia, memiliki nilai ritual tertentu dalam kepercayaan Hindu.

Sumber kehidupan itu sering dijadikan media untuk pemberkatan atau perantara doa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sumber air yang dianggap suci juga tersebar di beberapa lokasi di Pulau Lombok. Misalnya, Sumur Petirtaan dan Sumur Pelukatan di Pura Suranadi.
Kedua sumur tersebut memiliki air berkhasiat obat dan untuk penyucian diri.Sumber air berkhasiat serupa juga dijumpai di Pura Lingsar. Bale Petirtaan, Pura Suranadi, dan Pura Lingsar berada di wilayah yang sama, yakni Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat. Karena dianggap suci, sumber air dan kelestarian kawasan sangat dijaga masyarakat. Lokasi dan kawasan tersebut bahkan ditetapkan sebagai kawasan konservasi dan cagar budaya oleh pemerintah.

Bale Petirtaan bukan satu-satunya tempat sakral di Taman Narmada. Ada beberapa lokasi di areal seluas 2 hektare itu yang juga menjadi tempat ritual, di antaranya Merajan Sanggah, pura pemujaan terhadap para leluhur, serta Dewa Wisnu, Dewa Brahma, dan Dewa Iswara. Ketiga dewa itu merupakan manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam kepercayaan Hindu.

Semasa Raja Anak Agung Gde Ngurah Karang Asem (abad ke-18), Taman Narmada kerap menjadi tempat pelaksanaan Pakelem. Ritual saban bulan kelima Tahun Saka atau sekitar Oktober-November itu dimaksudkan untuk memohon kesuburan lahan pertanian dan turunnya hujan. Ritual berlangsung di Telaga Ageng, yang merupakan miniatur Segara Anak, danau di Gunung Rinjani. “Raja saat itu sudah sepuh sehingga tidak sanggup lagi ke Segara Anak.Sebagai gantinya, upacara keagamaan tersebut digelar di Telaga Ageng,“ jelas Gustu.Menjaga kelestarian Raja dari Karang Asem, Bali, yang menguasai Lombok pada abad ke-18 itu juga membangun Pura Kelasa sebagai replika Rinjani. Keberadaan Pura Kelasa dan Telaga Ageng menjadi simbol kekuatan alam semesta.

Taman Narmada dibangun Ngurah Karang Asem pada 1727 sebagai tempat peristirahatan. Namun, keberadaan taman yang berlokasi di Desa Lembuah, Kecamatan Narmada itu kini memiliki fungsi konservasi. Kealamian sumber airnya masih terjaga.

Telaga Ageng, Telaga Padmawangi, dan Telaga Kembar menjadi daerah tangkapan sekaligus penjaga sirkulasi air. Air yang mengalir dari dan menuju penampungan tersebut jernih dan segar. Fungsi konservasi juga diperkuat keberadaan daerah terbuka hijau dengan pepohonan rindang di kawasan tersebut.

Keberadaan pepohonan tidak saja menjaga kelanggengan sumber air, tetapi juga menyerap karbon di udara. Sebuah konsep pengelolaan sumber daya alam secara lestari yang diajarkan generasi terdahulu.Bentuk kearifan lokal yang layak ditiru dan dipertahankan. (M-3) Media Indonesia, 26/10/2014, Halaman : 16

1 komentar: